Industri Budaya dan Musik Populer di Indonesia : Studi Kasus Pada Acara Indonesian Idol

A. Latar belakang

Perkembangan gaya hidup pada pandangan minat musik saat ini semakinberwarna, yang tentunya  tidak lepas dari gaya hidup konsumeris yang merupakan pola atau gaya hidup modern. Dalam hal gaya hidup konsumeris senidiri sebenarnya dari zaman duhulu telah ada. namun seiring perkembangan zaman, gaya hidup ini tidak jalan ditempat dan kian meningkat. Salah satu penopang meningkatnya adalah peran media yang, baik media cetak maupun media elektronik yang merupakan salah satu sumber gaya hidup kekinian, selain itu penopang yang memiliki pengaruh yang kuat adalah  denagn adanya kapitalisme konsumsi yang benar-benar  telah ikut berperan penting dalam mengubah gaya hidup dan dalam proses pembentukan masyarakat kosumsi. Sehingga dapat dilihat bagaimana masyarakat Indonesia saat ini melakukan pilihan dalam menggunakan waktu luang mereka dan apa-apa yang mereka konsumsi dengan berbagai bentuk gaya hidup yang ada dan kemudian membuat adanya bentuk-bentuk pengejaran hasrat terhadap berbagai objek material yang tampak nyata dalam kehidupan masyarakat. Pengejaran hasrat ini dipicu oleh berbagai bentuk fetisisme komoditas yang bahkan tidak disadari oleh masyarakat itu sendiri.

Masyarakat dan bebagai atribut yang melekat padanya, baik berupa pangkat, jabatan, dan kelas maupun gaya hidup menjaadi pesona tersendiri yang melekat pada setiap individu, beragamnya tipe antar individu membuat pendeskripsian makna dari figur seseorang atau individu tergantung dari bagaimana seseorang menggunakan idenritasnya sebagai masyarakat. Masyarakat dalam kehidupan sosial cenderung dibeda-bedakan dan dilekati oleh persoalan kelas baik kelas menangah kebawah maupun kelas menengah keatas dan tentunya masyarakat dengan berbagai lapisannya merupakan elemen penting dalam pergerakan sosial politik dinegeri ini. Namun, pola kehidupan masyarakat itu sendiri mengalami perubahan seiring perkembangan zaman dan keberadaan temuan tekhnologi-tekhnologi mutakhir, yang sedikit banyak juga memberi pengaruh besar pada perubahan pola atau gaya hidup masyarakat atau masing-masing individu, baik yang mengarah ke arah positif maupun  negatif.

Dewasa ini, kita telah melihat banyak perkembangan yang sangat pesat. Industri budaya dan musik pop secara baik secara kasat mata maupun tidak kasat mata terlihat saling bergandengan dan merangkul satu sama lain. menurut Mazhab Frankfurt, industri budaya mencerminkan konsolidasi fetisisme komoditas, dominasi asas pertukaran dan meningkatnya kapitalisme monopoli negara. (Dominic Strinati 2007:69).

Menurut Theodore Adorno, ilmuwan Frankfurt School, musik mengambil bagian menjadi subsistem kebudayaan populer. Musik dianggap sebagai produk nyata nilai dan rasa yang berkembang di masyarakat dan diapresiasi oleh beberapa individu (Dominic Strinati 2007:74).

Media telah menyulap masyarakat menjadi komoditas untuk kesuksesan bisnisnya. Gurita kapitalisme telah menjamah ranah-ranah industri budaya. Pernyataan ini dikemukakan Idi Subandy. Ia menyatakan bahwa tak ada satu pun ruang kebudayaan yang luput dari cengkraman gurita kapitalisme. Tak terkecuali industri musik anak muda. Mengingat musik merupakan aspek sentral dari semua produk budaya pop, tampaknya semua ruang hidup kita benar-benar telah dikudeta pasar (Idi Subandy 2007:87).
Berbicara tentang musik pop takkan pernah terlepas dari budaya pop, dan  budaya itu sendiri merupakan bentukbentuk kontradiktif akal sehat yang sudah mengakar pada dan ikut membentuk kehidupan sehari-hari (Hall, 1996: 439).

Sepak terjang musik populer saat ini sudah tidak bisa diragukan lagi, musik populer di Indonesia sendiri sudah sampai pada tahap yang biasa kita sebut sebagai kata “menjamur” atau “mewabah disemua kalangan, utamanya dikalangan kelas menegah kebawah.  Kita bisa lihat dari salah satu contoh dari grup band Wali, siapa yang tak kenal band ini, mulai  dari kalangan anak-anak, remaja, sampai dewasa pasti mengenalnya. Dan salah satu contoh kasus yang paling fresh sekarang ini adalah acara-acara yang kontes atau pemilihan penyanyi bintang seperti Kontes Dangdut TPI (KDI), Dangdut Academy, Suara Indonesia, dan Indonesian Idol. Sekilas acara TV ini terlihat begitu mempesona, tapi apa betukl mempesona?.  Acara Indonesian Idol akan menjadi fokus utama dalam tulisan ini.
Dalam tulisan ini kita akan melihat berbagai relasi antara Industri budaya, musik populer, dan masyarakat sebagai konsumennya.

B. Landasan Teori

Teori Industri Budaya

Industri sebagai penghasil produk apapun, dari yang sifatnya materi sampai ke non-materi di distribusikan melalui media massa kepada masyarakat untuk memaksimalkan pencapaian keuntungan. Melampaui batas daerah, negara bahkan benua. Seperti dikatakan Adorno: “Kekuatan ideologi industri budaya sudah sedemikian rupa hingga konformitas (keseragaman) menggantikan kesadaran” (Dominic Strinati 2007:110). Menurut Adorno industri budaya mencerminkan fetisisme komoditas, dengan memakai konsepnya Karl Marx. Industri budaya membentuk selera dan kecendrungan massa sehingga mencetak kesadaran palsu dengan cara menanamkan keinginan mereka atas kebutuhan-kebutuhan palsu (Dominic Striniati 2007:73).

Dengan merujuk pada analisis industri budaya pada musik pop, Adorno mengatakan teori ini sangat berkaitan terhadap teori fetisisme komoditas yang dikonsumsi oleh khalayak massal untuk menggambarkan kekuatan industri dalam masyarakat kapitalis (Dominic Strinati 2007:73).

Industri budaya didominasi oleh dua proses yaitu standarisasi dan individualisasi semu. Standarisasi yang dimaksud Adorno di sini merujukpada kemiripan mendasar di antara lagu-lagu pop karena bagian bait lagu maupun akornya semakin saling dapat dipertukarkan sementara individualisasi semu menyamarkan proses tersebut dengan menjadikan lagu-lagu tersebut semakin bervariasi dan berlainan satu sama lain yang pada akhirnya digunakan oleh industri sebagai umpan untuk menarik konsumen (John Storey 2010:118)
Adorno juga memandang musik pop sebagai “perekat sosial” karena musik pop menawarkan relaksasi dari pekerjaaan yang bisa disimak tanpa harus diperhatikan. Kaum kapitalis menanamkan hal tersebut kepada masyarakatnya sebagai sesuatu yang dibutuhkan karena musik pop seolah menawarkan khayalan, kebahagiaan, resolusi dan rekonsiliasi di dalam kehidupan. Kenikmatan yang ditawarkan di dalam musik pop tersebut membuat orang berhenti berpikir tentang realitas kehidupan yang keras dan hambar dari sebuah masyarakat kapitalis (Strinati, 2007: 77-78).

Teori Hegemoni

Gramski memahami hegemoni sebagai sarana kultural maupun ideologis dimana kelompok-kelompok yang dominan dalam masyarakat termasuk pada dasarnya tapi bukan secara eksklusif kelas penguasa, melestarikan dominasinya dengan mengamankan “Persetujuan spontan” kelompok-kelompok subordinat, termasuk kelas pekerja melalui penciptaan negosiasi konsensus politik maupun ideologis yang menyusup dalam kelompok- kelompok dominan maupun yang didominasi (Dominic Striniati 2007:188-199).

Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni merupakan sebuah proses penguasaan kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide kelas dominan. Di sini penguasaan dilakukan tidak dengan kekerasan, melainkan melalui bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang dikuasai.

Dengan demikian mekanisme penguasaan masyarakat dominan dapat dijelaskan sebagai berikut : Kelas dominan melakukan penguasaan kepada kelas bawah menggunakan ideologi. Masyarakat kelas dominan merekayasa kesadaran masyarakat kelas bawah sehingga tanpa disadari, mereka rela dan mendukung kekuasaan kelas dominan.

C. Pembahasan

Sekilas tentang Indonesian Idol

Indonesian Idol, dua kata yang pastinya tak asing bagi kita, inilah acara TV yang konon tujuannya adalah ajang pencari, ajang penggali, dan ajang perunjukan bakat talenta-talenta dari berbagai daerah di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung jumlah peserta yang  ikut disetiap daerah atau provinsi sebagai tempat audisi tingkat awal acara ini bisa mencapai ribuan bahkan puluhan ribu peserta, masyarakat atau peserta yang ingin mengadu dan mengembangkan bakatnya berbondong-bondong mengikuti proses audisi mulai dari pagi sampai pada malam hari.

Acara ini terlihat atau sebagaimana kita sadari bersama berhasil menghipnotis para pesertas dari sabang sampai merauke, dalam hal ini kita baru berbicara masalah peserta, belum lagi jutaan pasang mata penonton yang nantinya akan turut ambil andil dalam acara ini, baik yang menonton di studio TV swasta ini, maupun yang menonton dari layar kaca.  Tahun 2014 ini adalah kali ke 8 acara ini digelar. Sebelumnya, dimulai dari tahun 2004, 2005, 2006, 2007, 2008, 2010, dan tahun 2012, dan adapun daftar finalis Indonesian Idol Season 1 Sampai Season 7 yang diurutkan dari peringkat pertama (juara) sampai peringkat paling terakhir adalah sebagai berikut :

Finalis Indonesian Idol Season I (tahun 2004) :
Joy Tobing
Delon Thamrin    
Nania Yusuf
Helena Andrian
Michael Jakarimilena
Lucky Octavian
Bona Sardo
Karen Pooroe
Winda Viska
Suci Wulandari
Adika Priatama  
   
   
Finalis Indonesian Idol Season II (tahun 2005) :
Mike Mohede  
Judika Sihotang
Firman Siagian  
Monita Tahalea
Harry Mantong
Maya Damayanti
Glenn Waas
Yudistira Manupassa
Vira Puspitasari
Wisnu Prabowo
Ronald Silitonga
Danar Karolus


Finalis Indonesian Idol Season III (tahun 2006) :  
Muhammad Ihsan Tarore  
Dearly Dave Sompie    
Ghea Dahliana Oktarin  
Sanobo Sasamu    
Maria Priscilla
Ilham Basso
Christy Podung  
Sisi Hapsari
Brinet Sudjana
Martesa    
Lee Kulalean        
Elisabeth Dwi Purna


Finalis Indonesian Idol Season IV (tahun 2007) :
Rini Wulandari      
Wilson Simon Maiseka
Gabriella Christy
Sarah Hadju
Fandy Santoso
Dimas Mochammad
Julian Syahputra
Priska Paramita
Stevano Andrie
Nabila Marsya Nada
Gede Arya Gana Eka        
Rismawati


Finalis Indonesian Idol Season V (tahun 2008) :
Januarisman
Gisella Anastasia
Patudu Syammayim
Kunto Aji Wibisono    
Dyna Fransisca    
Obet Habibu
Andy Makaruwung  
Ibeth Estrya
Dede Richo  
Thefanie Florina
Dela Setia
Safira Rizkika


Finalis Indonesian Idol Season VI (tahun 2010) :
Igo Pentury
Citra Scholastika
Gilang Saputra
Ray Generies
Tesa Novliana
Windra
Rio Rezky Basir
Keyko Vredhe
Diana Tumewa
Fendi
Panendra Larasati
Monalisa Lengkong
Raizza Intifada
Andi Subagja


Finalis Indonesian Idol Season VII (tahun 2012) :
Regina Ivanova
Kamasean Matthews
Prattyoda
Dionisius Agung
Febri Yoga
Maria Rosalia
Non Dera
Rosandy Nugroho
Rio Agung
Ivan Saputra
Belinda Fueza
Kanza Dinar

Sumber : http://dhoemdham.blogspot.com/2014/01/daftar-finalis-indonesian-idol-season-1.html

Indonesian Idol season 8 tahun 2014 sekarang ini tengah berlangsung, dimana ada nama-nama baru disana, diantaranya : Yuka, Sarah, Nowela, Husen, Gio dan lain-lain.

Industri Budaya Pemberi Kesadaran Palsu

Dalam industri budaya, banyak sekali cara para kapitalis untuk meraut keuntungan, tidak tanggung-tanggung secara eksplisit terlihat jelas bahwa ketika proses audisi berlangsung  sampai pada acara puncak, yaitu panggung spectakuler, para kapitalis (pihak industri/penyelenggara) menggunakan dana yang tak sedikit. Puluhan ribu peserta yang mengikuti audisi di daerah masing-masing tentu mendapat fasilitas tertentu mulai dari formulir, tempat audisi dan lain sebagainya. Kemudian pada panggung spektakuler yang digelar sekali dalm sepekan terlihat para juri, komposer dan musisi-musisinya, panggung dan perangkat-perangkatnya, belum lagi kostum para finalis sampai pada proses karantina. Kelihatannya pihak industri begitu murah hati dalam mengeluarkan dana yang dimilikinya. Tapi tunggu dulu Sepintas euforia ini mungkin terkesan wajar, ketika Industri melaksankan suatu kompetisi. Tetapi, ketika pertanyaan sederhana muncul ”siapa yang paling diuntungkan dalam acara yang bertajuk Idola Indonesia ini?”, apakah penonton yang merasa dapat hiburan? apakah sang juri yang mendapat bayaran? Apakah para musisi yang kebanjiran job setiap minggunya? Atau apakah sang idol yang secepat itu menjadi terkenal? bukan. Yang paling diuntungkan dalam kontes idol ini adalah para kapitalis karena bukan industri namanya ketika mengadakan sebuah proyek atau acara tanpa keuntungan didalamnya, disinilah kepentingan para kapitalis, dengan memanfaatkan para finalis melalui media musik populer, seperti dikatakan Adorno: “Kekuatan ideologi industri budaya sudah sedemikian rupa hingga konformitas (keseragaman) menggantikan kesadaran” (Dominic Strinati 2007:110). Adorno juga megatakan bahwa industri budayamencerminkan fetisisme komoditas, dengan memakai konsepnya Karl Marx. Industri budaya membentuk selera dan kecendrungan massa sehingga mencetak kesadaran palsu dengan cara menanamkan keinginan mereka atas kebutuhan-kebutuhan palsu (Dominic Striniati 2007:73). Merujuk akan hal itu, sering terdengar kalimat “terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak yang menggelar acara ini (industri), karena tanpa acara ini, saya tidak akan berada disini, dipanggung spektakuler ini”. Hal seperti inilah yang sering membuat kita terlena dan bahkan terhipnotis, kita tak menyadari akan kesadaran palsu dan kebutuhan-kebutuhan palsu yang dibentuk para kapitalis sampai-sampai kita memujanya bagaikan dewa dewa yang turun dari langit.

Ketika kita merunut kebelakang dan melihat proses penyeleksian ajang yang konon katanya adalah pencarian idola-idola Indonesia, disetiap akhir acara di Panggung spektakuler beberapa finalis terlihat tegang, kalimat yang sering muncul sebelum akhir acara ini adalah “Yang akan lanjut kepanggung spektakuler show minggu depan adalah........... Yang akan pulang malam ini adalah......... “ kalimat-kalimat inilah yang menghipnotis jutaan pasang mata penonton baik yang dirumah maupun yang distudio, kalimat-kalimat inilah yang dikonstruksi para kapitalis untuk menjalankan aksinya, kita sebut saja “untuk mendapatkan modal kembali  dan meraut keuntungan yang sebesar-besarnya ” karena menentukan finalis akan lolos ke babak selanjutnya, bukanlah para juri (Anang Hermansyah, Tantri Kotak, Ahmad Dani, dan Titi Dj) atau penyanyi, melainkan “Vote” dari jutaan pasang mata yang menonton acara ini. Cara untuk melakukan vote bermacam-macam, mulai dari SMS, Internet, dan Telepon, dan tentunya “BERBAYAR”. Jadi ketika kita ingin lebih kritis lagi akan timbul pertanyaan “sejauh mana peran penyanyi atau finalis dalam acara ini? Sedangkan yang menentukan bukanlah suara, melainkan vote” tujuan penyanyi ini mulai dari Audisi tingkat daerah sampai pada Panggung Spektakuler show tak lebih hanyalah sebagai alat bagi para kapitalis untuk melancarkan aksinya, itulah industri dengan berbagai cara yang ia miliki.

Selubung kapitalisme dalam acara Indonesian Idol ini sungguh merupakan konspirasi ”Indah nan mempesona” antara kapitalisme dengan budaya populer. Dalam hal ini televisi menjadi media utama budaya populer. Melalui penayangan  acara ini, keuntungan membanjiri pihak industri. Bukanlah suatu hal yang mencengankan, sebab karakter masyarakat kita yang cenderung terbiasa dengan budaya non-literasi (menonton). Masyarakat kita telah menjadi pemuja televisi. Istilah ”pemuja” dalam budaya populer ini sangatlah pas dengan implikasi pemikiran Karl Marx, tentang fetisisme komoditas atau pemahaman Adorno tentang budaya populer.

Hegemoni Kapitalis

Merujuk pada pemikiran Gramski tentang hegemoni yang menjelaskan bahwa hegemoni merupakan sebuah proses penguasaan kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide kelas dominan. Di sini penguasaan dilakukan tidak dengan kekerasan, melainkan melalui bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang dikuasai, terlihat jelas bahwa keterjajahan para finalis dan para konsumen (penikmat) atau jutaan pasang mata penonton yang menyaksikan acara Indonesian Idol ini menjadi suatu hal yang wajar, inilah yang dimaksud menikmati keterjajahan atau yang biasa kita sebut “Hegemoni”, hegemoni ini terjadi bukan karena paksaan dari para kapitalis, tapi sudah dikontruksi sedemikian rupa sehingga hegemoni yang terjadi merupakan suatu kesepakatan antara pihak kapitalis (produsen), finalis Indonesian Idol (produk), dan para penonton (konsumen).

Proses kekuasaan itu terjadi bukan hanya penjajahan atas tujuan awal acara ini yang notabenenya adalah merupakan ajang pencarian bakat, dan penjajahan atas syarat akan dukungan yang berupa “vote”, melainkan sudah sampai pada ranah penjajahan yang paling mendasar yaitu masyarakat sebagai korban tanda.

KESIMPULAN

Acara Indonesian Idol ini merupakan salah satu contoh euforia masyarakat Indonesia dari sekian banyaknya acara-acara semacam ini yang sangat menguntungkan para kapitalis, pemujaan terhadap idola-idola masyarakat penonton sebagai konsumen telah menjadi kesadaran palsu atas kebutuhan-kebutuhan palsu.

Inilah proses relasi antara Industri sebagai produsen, para finalis Indonesian Idol sebagai produk, dan para penonton sebagai konsumen yang menikmati keterjajahan dengan segala bentuk penjajahan itu sendiri dan dengan cara atau konstruksi yang diatur sedemikian rupa oleh para kapitalis sehingga keterjajahan ini disulap menjadi sebuah euforia.

DAFTAR PUSTAKA

Hall, Stuart, 1996, “On Postmodernism and Articulation: An Interview with Stuart

Hall”, dalam David Morley dan Kuan-Hsing Chen (eds.), Stuart Hall, London: Routledge.

Ibrahim, Idi Subandy. 2007. Budaya Populer Sebagai Komunikasi : Dinamika Popscape dan Mediascape di Indonesia Kontemporer . Yogyakarta: Jalasutra.

Storey, John. 2010. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra.

Strinati, Dominic. 2007. Pop Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta:Jejak